Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teologi Neo-Liberal

 

TEOLOGI NEO-LIBERAL

Neoliberalisme

Kaum Neoliberals memiliki pandangan yang lebih tinggi tentang kristus daripada kaum liberal dahulu. Neoliberal berbicara tentang "keilahian" Kristus (meskipun mereka telah menolak pernyataan ortodoks tentang Allahnya yang penuh dan tidak bercacat); Akan tetapi, mereka menolak konsep yang berkaitan dengan keilahian Kristus menuntut kepercayaan akan kelahiran perawan. Tanpa mengakui kurban tebusan pengganti, neoliberal menempatkan lebih banyak kepercayaan dalam kematian Kristus, menegaskan bahwa melalui kematianNya gereja dilahirkan dan individu-individu tergabung dengan kuasa Allah

Berbeda dengan liberalisme yang lebih tua, neoliberal memiliki pandangan yang lebih rendah terhadap manusia dan pandangan yang lebih tinggi terhadap Allah. Akan tetapi, mereka tidak kembali ke ortodok; Cukup adil untuk mengatakan bahwa neoliberalisme adalah membentuk kembali liberalisme kuno. Pada intinya, neoliberalisme mempertahankan esensi liberalisme lama.[1]

Pandangan Neo-Liberal

Pandangan ini, seperti yang diperjuangkan oleh orang-orang seperti Rudolf Bultmann dan para pengikutnya, tidak memperhatikan kesejarahan peristiwa-peristiwa Alkitab. Satu-satunya aspek yang penting dari Alkitab adalah beritanya. Pandangan ini berusaha mencari inti kebenaran yang terkandung dalam Alkitab. Sebenarnya, Bultmann berpegang bahwa untuk mengerti secara tepat kebenaran Alkitab, seseorang harus melakukan “demitologisasi” Perjanjian Baru mengenai Kristus. Kristus lebih dilihat sebagai tokoh mitos ketimbang sebagai tokoh historis dalam Alkitab, dan mengasumsukan bahwa Alkitab memerlukan suatu penerjemahan ulah yang bersifat “ilmiah” modern supaya dapat berguna.[2]

            Bagi Bultmann, yang penting adalah berita tentang Kristus, tetapi bukan kesejaraharanNya. Apakah itu peristiwa kelahiran melalui anak dara atau peristiwa kebangkitan benar-benar terjadi atau tidak, tidaklah penting bagi “hermeneutika baru” itu.

Aliran Hermeneutik Baru

            Aliran ini mempunyai hubungan erat dengan Bultmann. Sebagai pengikut Bultmann, aliran ini menilai dia kurang memahami ajarannya sendiri. Tokoh-tokoh aliran ini, misalnya, Ernst Fuchs (1903-1983) dan Gerhard Ebeling (1912-2001), percaya bahwa hermeneutik bukan sekedar penafsiran dan eksistensial, maka hermeneutik harus maju selangkah menyelediki hukum-hukum penafsiran. Sebab bahasa sendiri bersifat penafsiran dan eksistensial, maka hermeneutik harus maju selangkah menyelidiki makna bahasa itu, dan berusaha agar Perjanjian Baru berbicara kepada pembaca masa kini. Beberapa hal perlu diperhatikan:

-       Firman Allah harus terbaca dalam setiap khotbah

-       Seorang penafsir harus mengenal “bagaimana” ia dapat mengerti Alkitab. Ini berkaitan dengan praanggapan dan beraneka ragam analisis.

-       Harus ada pengertian umum di antara pembicara dan pendengar.

-       Bahasa bukan hanya alat yang menyampaikan informasi, tetapi juga sebab yang menghasilkan perubahan.

Pendukung aliran ini sependapat dengan Bultmann, perlu memperhatikan praanggapan yang dipegang penafsir. Namun, Hermeneutik baru maju selangkah jauh dari pada Bultmann.[3]

Latar Belakang Historis

Pemikiran teologi modern di Eropa tidak lepas dari situasi yang terjadi pada waktu itu. Dimulai dari peristiwa Pencerahan (Aufklarung atau Enlightment) di Eropa pada abad ke-18 yang mengubah kebudayaan Eropa secara dramatis. Di Eropa semakin banyak orang lebih percaya pada terang akan dan daya pikir manusia dibanding hukum ilahi maupun hukum politik dan ilmu pengetahuan yang diteliti secara kritis dalam pemahaman akal budi. Tidak hanya mempengaruhi politik, ilmu pengetahuan dan segala aspek pendidikan, masa ini juga mempengaruhi gereja. Semua tuntutan terhadap kekuasaan dikaji dan diteliti secara kritis, sehingga kekuasaan yang dikuasai oleh gereja atau dominasi ajaran agama tidak dipandang lagi. Intinya pada masa Pencerahan ini selain mempengaruhi ilmu-ilmu pengetahuan lain, juga sangat berpengaruh bagi studi teologi. Dibalik banyaknya orang yang terpengaruh pada pemahaman zaman ini, banyak juga yang tidak menyetujui pendekatan ini.[4]

Teologi modern Eropa juga dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi pada abad ke-20. Seperti Perang Dunia Pertama pada tahun 1914, yang membuat mereka (terutama Eropa dan Amerika) memasuki zaman baru, dimana mereka kehilangan nilai-nilai yang dijunjung tinggi sebelumnya, kebenaran yang tertinggi secara tiba-tiba hancur pada saat itu. Disamping pengalaman kelam tersebut, pada abad ke-20 juga terjadi perkembangan pengetahuan besar-besaran, perkembangan yang sangat menonjol adalah dalam bidang teknik. Perkembangan itu berupa penemuan dan pengembangan kapal terbang hingga pesawat ruang angkasa; dari kereta kuda menjadi mobil-mobil mewah; juga perkembangan komunikasi. Tidak kalah juga perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan yang berkembang dahsyat dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pada abad ini juga menjadi awal dari berakhirnya kejayaan kolonialisme dan imperlisme, dengan banyaknya kemerdekaan bangsa-bangsa yang menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk pada saat itu. Pada abad ke-20 ini dapat dilihat bahwa perkembangan yang luar biasa ini sangat berpengaruh disemua bidang kehidupan manusia. Sehingga juga mempengaruhi pemikiran-pemikiran teologi.[5]

Keadaan abad ke-20 inilah yang mempengaruhi pemikiran teologis Rudolf Bultmann, seorang teolog dari Eropa yang sangat terkenal karena memiliki pemahaman baru dalam bidang teologi.

Rudolf Bultmann

Riwayat Hidup

Nama lengkapnya ialah Rudolf Karl Bultmann. Ia seorang ahli Perjanjian Baru dari Jerman. Dilahirkan pada 20 Agustus 1884 di Wiefelstede (Oldenburg). Ayahnya seorang pendeta dari Gereja Lutheran-Evangelis. Di Oldenburg ia memulai pendidikannya di gymnasium. Sesudah itu ia belajar du theologia, di Tubingen kemudian di Berlin dan di Marburg. Pada tahun 1916 ia diangkat menjadi guru besar luar biasa di Breslau. Dan empat tahun berjelang, tepatnya 1920 ia pindah ke Giessen sebagai pengganti professor Wilhelm Bousset dan pada tahun 1921 ia pindah ke Marburg sebagai guru besar di bidang Perjanjian Baru dan sejarah agama Kristen kuno.[6] Di Universitas Marburg dia belajar dibawah bimbingan Wilhelm Herman yang pemikirannya menjadi dasar dari seluruh pemikiran teologi Bultmann, ia menjadi teolog yang meneliti Perjanjian Baru karena terpengaruh oleh Johannes Weiss yang berasal dari Universitas Marburg. Ia juga berkenalan dengan Wilhelm Heitmuller yang membuat ia tertarik di bidang History of Religions School. Sehingga ia membuat tulisan-tulisan dari Perjanjian Baru yang membandingkan agama-agama yang ada pada zaman gereja mula-mula, antara lain dengan Hellenistic Gnosticism, Jewish Apokalyptic, dan agama-agama rahasia atau mystery religions.[7] Tulisan yang terkenal yang ia tulis antara lain The History of the Sypniptic Tradition yang pada tahun 1921, dimana ia membuat analisa yang baru yang disebut “Form History/Form Criticism” dimana ia membedakan antara ketiga lapisan oral/lisan yang ada dibelakang inil-injil sinptis. Ia menyimpulkan bahwa cerita tentang kehidupan Yesus sebenarnya karangan dari jemaat Hellenistik (dengan latar belakang “Gereja-gereja berbahasa Yunani”). Kumpulan mitos ini berbeda sekali baik dalam waktu, bahasa, maupun kebudayaan dari yang sesunggunya yaitu “Palestina origin” dimana Jesus hidup. Maka, jika hanya melalui injil-injil Sinoptis saja, kita tidak mungkin dapat mengenal tentang “historical Jesus” atau kehidupan Yesus dari Nazareth yang sesungguhnya.

Dengan dasar historical Studies ini pulalah ia menyimpulkan bahwa “iman Kristen” yang disaksikan dalam Alkitab, baru mulai dikenal setelah munculnya Gereja-gereja yang berbahasa dan berkebudayaan Yunani. Sedangkan orangorang yang benar-benar mengenal historical Jesus adalah angota-anggota dari jemaah-jemaah Palestinian justru termasuk dalam sekte-sekte agama Yahudi, dan mereka tidak dikenal sebagai gerejagereja atau jemaat Kristen pada jaman itu. Segala sesuatu yang dikenal sebagai agama Kristen sebenarnya mulai dari gereja-gereja Yunani yang mula-mula atau Primitive Hellenistic Christianity.[8]

Pada tahun 1924-1925, di Marburg ia bertemu dengan Paul Tillich dan Martin Heidegger yang sedang menulis bukunya Sein und Zeit. Ia sangat tertarik pada filsafat Heidegger. Filsafat ini kemudian mempunyai arti yang menentukan. Bundel pertama dari bukunya Glauben und Verstehen ia persembahkan kepada Heidegger sebagai peringatan waktu, di mana mereka bersama-sama di Marburg. Persahabatannya dengan Heidegger diputuskannya ketika Heidegger pada tahun 1933 menjadi penganut sosialismenasionalis di Jerman dan diangkat sebagai rektor Universitas di Freiburg. Pada saat itu Bultmann sangat dekat dengan Karl Barth dalam kalangan ahli-ahli teologi dalam majalah “Zwischen den Zeiten.” Di dalam majalah tersebut ada beberapa karangan dari Bultmann. Kemudian hubungan antara Barth dengan Bultmann semakin lama semakin renggang. Sebab Barth melihat “Entmythologisierung’ dari Bultmann sebagai lanjutan dari teologi liberal abad ke-19. Sesudah perpisahan tersebut hidup Bultmann seperti biasa, tanpa kejadian-kejadian yang mengejutkan. Sungguhpun ia menentang “Kerajaan Ketiga” dari Hitler, ia dapat melanjutkan pekerjaannya di Marburg sampai pensiun (1954). Ia merupakan salah satu wakil yang paling penting dari penelitian-historis yang ilmiah dan radikal tentang Alkitab di Jerman.[9]

Latar Belakang Pemikiran

Gereja dan teologi yang tradisional di dalam mengusahakan teologi mempergunakan pengertian-pengertian yang di ambil dari filsafat Yunani. Dengan tindakan inilah sangat mengakibatkan bahwa dia menjadikan penyataan atau wahyu Allah hanya dipandang sebegai suatu kawasan tersendiri, yang terpisah dari kejadian-kejadian dunia. Pandangan ini disebut dengan pandangan supranaturalis atau supraalami.

Pandangan ini dilatar belakangi dengan dualisme kosmis yang menganggap ada dua alam yang diperhadapkan dengan perbedaan satu dengan yang lain. Menurut pemandangan banyak orang pranaturalisme teologis telah goyah karena digoyahkan oleh interpretasi yang historis sehingga melahirkan metode historis kritis.

Metode historis kristis bukan hanya suatu metode baru dibidang ilmu pengetahuan, melainkann suatu pandangan baru atas totalitas hidup manusia. Kejadian yang mengungkapkan penyataan atau wahyu Ilahi tidak dapat lagi diberi interpretasi degan peralatan pemikiran metafisis. Karena segala kejadian hanya dipandang sebagai salah satu dari gejala-gejala historis.

Bultmann adalah seorang ahli PB dan seorang ahli pikir yang sistematis. Ia juga seorang teolog, historikus, ahli bahasa, filsuf dan ahli agama. Ia bersama-sama dengan Karl Barth dan Paul Tillich ia mewujudkan tiga orang teolog besar dalam abad ke-20. Karl Barth berasal dari teologi liberal. Namun, perbedaan mereka adalah Karl Barth mengira dapat menmbuang teologi yang telah diterimanya pada waktu ia muda begitu saja, sedangkan Bultman merasa wajib untuk mempertahankannya.

Bultmann meningglkan teologi liberal dan mengalami perubahan pemikiran bersama-sama dengan yang lain. Dimana ia mencoba untuk mengembangkan warisan teologi liberal, mengenai pemikiran historis kritis dengan tujuan untuk melayani gereja dan teologi.[10]

Presuposisi Bultmann

Bultmann memakai metode filsafat Heidegger tentang penganalisian eksitensi, didukung oleh kritis historis dari teologi liberal. Yang diolah secara konsekuen sistematis menjadi suatu yang baru, yang memiliki cirinya sendiri. Dalam hasil pemikirannya Bultmann bermaksud untuk meniadakan sandungan yang palsu dari Injil dan menunjukkan bagaimana sandungan yang sebenarnya dari Injil. Sandungan yang dimaksud adalah pemikiran dari para ortodoks yang mengatakan bahwa Allah berbuat di dalam batas-batas sejarah, bahwa Ia mengampuni dosa di dalam Kristus. Dalam hal ini Bultmann menguraikan tentang demitologasasi atau pengupasan mite itu dapat dipandang sebabgai suatu manifesto.

1.     Program Demitologisasi

Bultmann menjadikan firman Allah dapat dimengerti oleh manusia modern, sehingga mereka dapat mendengar sabda Allah di dalamnya. Karena menurutnya ada sesuatu hal yang menutupi firman Allah sehingga manusia modern tidak dapat mengerti dan percaya kepadanya.

      Gambaran dunia orang modern ditentukan oleh ilmu pengetahuan dan teknik, sedangkan gambaran dunia PB bersifat mistik. Bahkan selain itu juga kejadian penyelamatan diuraikan dalam cerita mistis, umpamannya Kristus di anggap sebagai tkoh Ilahi yang telah ada sebelum dilahirkan, yang kemudian menampakkan diri sebagai manusia dnegan mengadakan berbagai macam mujizat. Cerita ini disusun berdasarkan unsur dari metologi apokaliptik Yahudi yang mutakhir dan dari mite penyelamat gnostik.

2.     Interpretasi Eksistensial

Dalam PB dua cara bereksistensi bagi manusia, yakni sebagai orang yang tidak beriman dan yang tidak mendapat keselamatan dan sebagai orang beriman, yang mendapat keselamatan. Dua-duanya mengarah pandangan untuk masa depan, yang ingin sama mencapai keadaan yang sebenarnya. Orang yang tidak beriman menghabiskan apa yang mereka dapati di dalam hidup mereka. Yang dimana keberadaan mereka berada pada jalan yang menyesatkan, karena tidak memiliki realita hidup yang pasti.

Sedangkan orang beriman yang bereksistensi di dalam iman dan kasih, melepaskan segala kepastian yang diciptakannya sendiri, dan segala hidupnya yang tidak tampak dan yang tidak dikuasainya. Karena ia menyadari bahwa hidupnya itu adalah hadiah. Sehingga itu membuat hidupnya percaya kepada kasih karunia Allah, percaya kepada Allah yang tidak tampak, yang menjumpai manusia dalam kasih.

3.     Kerygma dan sejarah

Tidak dapat disangkal bahwa ilmu penafsiran (hermeneutik) bagi Butlmann aktual sekali. Ia mendekati situasi sekarang, ia mendekati eksistensi. Dengan secara konsekuen perbuatan Allah dihubungkan dengan eksistensi manusia. Dalam pendapat Bultmann terdapat ‘penyempitan’ atau ‘pengurangan’ yang bersifat antropologis, seperti dengan Karl Bart yang melakukan penyempitan yang bersifat kristologis. Dimana segala sesuatunya dihubungkan dengan eksistensi, baik realitas Allah maupun realitas dunia.

Bagi Butlmann penyataan atau wahyu ilahi dengan awal dan akhirnya dijadikan satu titik, yaitu saat sekarang ini, dimana tiap orang dengan iman menerima hidup sebagai pemberian kasih karunia Allah.

Dengan penekanan Bultmann pada pertemuan pribadi antara Allah dan manusia, ia lupa bahwa Allah berbuat sesuatu bagi dunia secara keseluruhan. Sehingga ini mengakibatkan terdapat dualisme Yesus yang dipecahkan menjadi Yesus yang historis dan Yesus yang kerygmatis, yang tidak bersama-sama menjumpai manusia.[11]

Doktrin-Doktrin

Doktrin Bibliology

Bultmann berpandangan bahwa apa yang tertulis di dalam Alkitab tidak sesuai dengan realitas hidup yang ada di dunia ini. Pikirnya di dunia tidak ada malaikat-malaikat, tidak ada iblis, tidak ada roh-roh jahat, tidak ada mujizat-mujizat, bahkan Allah tidak ada di dunia ini. Bultmann menolak doktrin inerrancy Alkitab, sehingga ia menyatakan bahwa sejumlah halaman dari Alkitab seharusnya ditiadakan.[12] Penolakan terhadap Alkitab yang diakui oleh Bultmann merupakan penolakan atas infalibilitas dan ineransi Alkitab. Hal ini terjadi karena pemikiran dan kekuatan berpikir manusia membuat kebenaran Alkitab diragukan.

Infalibilitas adalah suatu pernyataan bahwa Alkitab memiliki otoritas yang absolute dan tidak bercacat, semua tulisan yang ada di dalam Alkitab tidak dapat digugat bersalah bahkan tidak dapat disangkal kebenarananya. Sedangkan kata ineransi adalah doktrin yang menyatakan kualitas dan bebas dari kesalahan. Jadi doktrin inneransi dan infalibilitas Alkitab adalah firman yang diwahyukan oleh Allah dan diilhamkan oleh Roh Kudus kepada para penulisnya sehingga memiliki kualitas yang bebas dari kesalahan.[13]

Bultman percaya, Perjanjian Lama tidak bertujuan memberitahu terlebih dahulu doktrin yang tercatat dalam Perjanjian Baru. Perjanjian Lama bukan kitab orang Kristen, dan hanya berfungsi menunjukkan kegagalan manusia. Sikap ini sangat mempengaruhi penafsirannya atas Perjanjian Lama. Juga atas ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang memenuhi nubuat dalam Perjanjian Lama.

Doktrin Eskatologi

Dunia menurut kesaksian Alkitab terdiri dari tiga bagian. Bagian yang ditengah yaitu bumi, bagian yang di atas yaitu sorga (=langit), bagian yang di bawah yaitu alam maut. Tidak semua hal di bumi merupakan hasil dari dorongan-dorongan yang murni alami, namun juga kekuatan-kekuatan superanatural ikut campur di dalam aliran peristiwa yang alami. Menurut Millard J. Erickson keajaiban juga sering terjadi seperti Roh-roh setan dapat merasuki manusia sehingga menimbulkan penyakit. Allah atau blis juga dapat menimbulkan inspirasi pada pikiran manusia dan mewujudkan tindakan nyata dari inspirasi yang diberikan.

Millard J. Erickson menjelaskan peristiwa eskatologi juga merupakan bagian penting dari pembahasan ini. Akhir zaman akan segera tiba dan akan terlihat dari malapetaka yang besar. Hal ini terbukti bahwa akhir zaman akan dimulai dengan penderitaan. Hakim yang adil yaitu Tuhan Yesus Kristus akan datang dari surga, diatas awan-awan, untuk melengkapi pekerjaan penebusan. Setelah itu manusia akan dibangkitkan dan di hakimi. Namun Bultmann tidak sependapat dengan pemahaman tersebut, ia melihat eskatologi dari metode demitologisasinya yang umum. Bultmann berpikir bahwa hal tersebut tidak mungkin bagi manusia modern berdasarkan konsep ilmiah tentang realitas yang ada sekarang.[14]

Tafsiran yang Digunakan

            Demitologisasi adalah metode penafsiran yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci dengan menghilangkan bentuk apa yang dianggap sebagai legenda dan mitos. Hal ini dilakukan agar inti yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut sehingga dapat selaras dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern.[15]

 

ANALISA KRITIS TERHADAP AJARAN NEOLIBERALISME

Pemikiran Bultmann sangat dipengaruhi oleh pengalaman historis kolektif yang memegang keyakinan dengan optimisme dan positivisme sains dan teknologi serta akal budi manusia yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia.

Dalam buku yang ditulis oleh J.L. Ch. Abineno mengatakan bahwa Bultmann tidak begitu berhasil dengan programnya dan bahwa ia juga tidak secara konsekuen menjalankan programnya itu. Bahkan programnya tidak banyak mendapatkan dukungan dari para ahli, bukan saja ahli-ahli teologia, tetapi juga ahli bidang ilmu pengetahuan yang lain.

“Hal itu paling jelas dilihat dalam khotbah-khotbah yang ia ucapkan di Marburg (dan diterbitkan pada tahun 1956) Tentang kasih Allah, ia mengatakan “itulah berita kristiani, bahwa Allah datang kepada manusia dalam Yesus Kristus. Di sini ia melangkah keluar dari kesembunyiannya dan diberitakan, dalam perkatan dan perbuatan, kepada semua orang yang dalam ketakutan dan kemelaratan yang mengharapkan kebebasan dari Allah yang mampu menerima manusia. Bukan sebagai keadaan manusia dalam keadaan sekarang (manusia yang hidup oleh keinginannya sendiri) tetapi sebagai manusia yang lain, untuk itu Kasih-Nya merubah keadaan hidup manusia sekarang.”[16]

Bahkan para pengikutnya pun menentang pandangannya yang begitu ekstrim, salah duanya adalah Ernst Kasemann dan Ernst Fuchs

Ernst Kasemann

Ernst Kasemann, seorang guru besar dalam Perjanjian Baru di Gottingen, pada tahun 1952 memberi ceramah tentang “persoalan penelitian Perjanjian Baru di Jerman. Ia adalah pengikut Bultmann yang menaruh perhatian pada Yesus yang historis, yang memiliki pandangan yang berbeda dengan Bultmann. Ia berpendirian bahwa menurut Perjanjian Baru, pada hari Paskah para murid mengenal kembali Yesus, bukan sebagai salah seorang tokoh surgawi, atau sebagai sebuah dalil ajaran dogmatis saja, namun sebagai seorang yang telah dikenal mereka sebelum Paskah. Oleh karena itu menurut Kasemann, Kristus yang dipercaya dan yang diberitakan sejak Paskah itu mempunyai kesinambungan dengan Yesus yang historis. Jadi iman tidak ada artinya, jika tanpa Yesus yang historis itu. Tugas teologi ialah untuk melihat kesinambungan tersebut. Pada tahun 1953 dalam suatu rapat tahunan teman-teman dan murid-murid dari Bultmann, Kasemann menguraikan “Persoalan tentang Yesus yang historis.” Pada tahun 1954 uraian tersebut diterbitkan menjadi suatu buku. Yang menjadi pangkal dan pusat pemikirannya adalah Yesus yang historis, dengan latar belakang persoalan tentang hubungan antara penyataan atau wahyu dengan sejarah, di mana tekanan diletakkan kepada sejarah.

            Menurutnya, iman Kristiani itu dikaitkan dengan suatu kejadian tertentu di dalam sejarah, yaitu kejadian yang terjadi pada Kristus, yang diceritakan dalam Perjanjian Baru. Pemberitaan tersebut dibuat oleh kepercayaan orang-orang Kristen pertama kepada Yesus Kristus. Seharusnya orang berpangkal dari kerygma jemaat pertama, sebagaimana diberitakan di dalam Perjanjian Baru terlebih-lebih di dalam Injil. Selanjutnya dari kerygma itu orang kembali kepada tokoh Yesus sendiri, yaitu melalui penelitian yang eksak, kritis, mendetail atau terperinci. Maksudnya untuk menunjukkan kesinambungan antara Yesus yang historis dengan Kristus yang kerygmatis di dalam diskontinuitas atau tiada kesinambungan yang tampak dalam salib dan kebangkitan.

            Kasemann menyatakan bahwa jika berdiri pada historis, maka harus dibalikkan ke alam pikiran Yahudi maupun alam pikiran Kristiani pertama. Misalnya pertentangan yang terdapat pada ajaran Yesus di gunung (Mat. 5: 21 dsb, yaitu hal Firman kepada nenek-moyang dan hal “Aku berkata kepadamu”). Firman yang diucapkan Yesus ini janggal sekali, tidak termasuk dalam kedua alam pikiran tersebut di atas. Oleh karena itu Firman Yesus ini pasti asli, benar-benar diucapkan oleh Yesus. Kata “Aku berkata kepadamu” menunjukkan adanya kedaulatan Yesus di atas kedaulatan Musa. Inilah kedaulatan mesianis, meskipun Yesus sendiri tidak memakai ungkapan itu. Demikian juga hal dengan pendekatan Yesus kepada hukum penyucian Yahudi. Yesus menuntut suatu sikap batiniah (Mat. 15: 11, “Dengar dan camkanlah; bukan yang masuk ke dalam mulut, itulah yang menajiskan orang”). Ajaran Yesus yang demikian itu tidak cocok dengan ajaran para rabbi. Ia menganggap diri-Nya sebagai diilhami Roh Kudus. Maka Ia sering memakai kata “amin” pada awal kata-kata-Nya. Jadi yang bersifat asal (original) dari Yesus terletak pada pemberitaanNya. PemberitaanNya ditentukan oleh pandangan eskatologis Yesus tentang diri-Nya sendiri. Dengan Firman-Nya itu kepada kerajaan Allah menembus dunia ini, menuntut orang untuk mengambil keputusan, menerima atau menolaknya. Pandangan eskatologis tersebut juga terdapat dalam ajaran Yesus pada beberapa perumpamaan, yang didalamnya kongkrit diungkapkan bahwa kerajaan Allah telah datang. Dimana pemberitaan ini bukan hanya suatu ajaran religius etis, namun juga suatu perbuatan.[17]

Ernst Fuchs

Berbeda dengan Kasemann yang menekankan kepada pemberitaan Yesus untuk dapat sampai kepada Yesus yang historis, Ernst Fuchs lebih menekankan kepada tingkah laku (perbuatan-perbuatan) Yesus. Penekanan Fuchs tersebut diungkapkan di dalam bukunya Zur Frage nach dem Historischen Jesus (Persoalan tentang Yesus yang Historis), yang ditulis pada tahun 1956. Menurut Fuchs, perbuatan-perbuatan Yesus mewujudkan kerangka yang sebenarnya dari pemberitaan-Nya. Perbuatan-perbuatan tersebut menjadi anak kunci guna membuka pemberitaanNya. Sesungguhnya sama sekali tidak ada pemberitaan Yesus. Firman Yesus (dalam percakapan dan perumpamaan) itu sebenarnya kesaksian tentang diriNya sendiri. Sebab Firman itu mengartikan suatu keputusan yang diambilNya. Keputusan tersebut mengenai hubungan antara Allah dan manusia. Keputusan itu adalah keputusan Yesus yang diambil-Nya dari pengalamanpengalaman-Nya yang eskatologis. Berdasarkan keputusannya itu Ia mulai pekerjaan Allah di dalam dunia ini, yaitu pekerjaan Allah yang hanya di surga dapat terjadi dengan sempurna. Demikianlah perbuatan Yesus tersebut sesuai dengan apa yang terjadi di surga Jadi kerangka pandangan Fuchs sebagai berikut: Yesus itulah “orang yang tanpa jabatan,” yang menempati tempat Allah. Artinya tanpa ditugaskan oleh Allah Ia telah menjadi wakil Allah, karena di dalam semua perbuatan-Nya Ia tanpa ragu-ragu melakukan kehendak Allah sebagai kehendak kasih karunia, yaitu dengan menarik orang-orang yang berdosa, yang tanpa Dia akan lari dari Allah. Sebagaimana tampak dalam perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15: 11-32). Yesus mengajarkan perumpamaan tersebut karena Ia dituduh oleh orang-orang Farisi, bahwa Ia makan dan minum bersama dengan pemungut cukai dan orang yang berdosa. Jadi perumpamaan tersebut didahului oleh perbuatan yang baik. Perbuatan baik Yesus memberi kerangka kepada perumpamaan-Nya, bukan sebaliknya. Yesus memperkenalkan kehendak Allah sebagai kehendak kasih karunia. Hal ini dapat dibaca dari perbuatan-perbuatan-Nya terhadap pemungut cukai dan orang yang berdosa. Firman-Nya mewujudkan gema dari keputusan yang telah diambil mendahului-Nya. Dengan demikian cara Yesus berbuat itulah sebagai cara berbuat kasih. Di dalam Firman Yesus itu terkandung Firman kasih. Yesus menyerahkan diriNya kepada para murid-Nya sebagai tanggungan bagi sejarah kasih dengan perbuatan-perbuatan dan Firman-Nya. Kasih itu bukan karena dituntut. Kasih muncul dengan sendirinya, yaitu dari kasih-Nya. Dengan itu para murid didorong untuk mengasihi, yaitu dengan mentaati Firman-Nya, Firman yang adalah kasih adanya. Karena perbuatan-perbuatanNyalah Yesus disalibkan.[18]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

B. Susabda. Yakub 2001, Teologi Modern 1 (Surabaya: Momentum)

CH. Abineno. J. L.  2000, Rudolf Bultmann dan Theologinya (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

Drewes, B.F.  Julianus Mojau. 2007. Apa itu Teologi? Pengantar ke dalam Ilmu Teologi. (Jakarta: BPK Gunung Mulia.)

Gary Crampton, W. 2008, Verbum Dei Alkitab: Firman Allah (Surabaya: Momentum)

Gustav Jung, Carl, 2018. Diri yang tak ditemukan, (Yogyakarta: IRCiDoD)

Hadiwijono. Harun, 2004. Teologi Reformatoris abad ke20. (Jakarta: Gunung Mulia,)

J Erickson. Milard, 2000. Pandangan Kontemporer dalam Eskatologi (Malang: SAAT)

Oranje. L. 2004, Sejarah RIngkas Theologi Abad XX (Jakarta: BKP Gunung Mulia)

Sutanto, Hasan. 2007, Hermeneutik (Malang: SAAT)

Wan, Justin, dkk, , 2020, Teologia Paulus Di Era Postmodern, (Yogyakarta: Stiletto Indie Book)

 

 



[1] Paul Ens

[2] W. Gary Crampton, 2008, Verbum Dei Alkitab: Firman Allah (Surabaya: Momentum) 70-71.

[3] Hasan Sutanto, 2007, Hermeneutik (Malang: SAAT) 194-196

[4] B.F. Drewes, Julianus Mojau. 2007. Apa itu Teologi? Pengantar ke dalam Ilmu Teologi. (Jakarta: BPK Gunung Mulia.) 53-54

[5] L. Oranje. 2004, Sejarah RIngkas Theologi Abad XX (Jakarta: BKP Gunung Mulia) 10-11.

[6] J. L. CH. Abineno. 2000, Rudolf Bultmann dan Theologinya (Jakarta: BPK Gunung Mulia) 3.

[7] Yakub B. Susabda. 2001, Teologi Modern 1 (Surabaya: Momentum) 115.

[8] ibid, Yakub. B. Susabda, 116.

[9] ibid, Abineno, Rudolf Bultman dan Theologinya, 3-4.

[10] Ibid, Yakub Susabda, 71.

[11] Harun Hadiwijono. Teologi Reformatoris abad ke20. (Jakarta: Gunung Mulia,2004) 76-82

[12]J.L.Ch.Abineno, Rudolf Bultmann dan Theologanya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 10-11.

[13]Justin Wan & Rosmaida Sianipar, Teologia Paulus Di Era Postmodern, (Yogyakarta: Stiletto Indie Book, 2020), 24.

[14] Milard J Erickson. 2000. Pandangan Kontemporer dalam Eskatologi (Malang: SAAT) 37

[15]Carl Gustav Jung, Diri yang tak ditemukan, (Yogyakarta: IRCiDoD, 2018), 136-137.

[16]J.L.Ch.Abineno, Rudolf Bultmann dan Theologanya, 23.

[17] ibid, Harun Hadiwijono, 83-87

[18] Ibid, Harun Hadiwijono, 23

Posting Komentar untuk "Teologi Neo-Liberal"